I. PENDAHULUAN
Perjuangan menegakkan hak asasi manusia
pada hakikatnya merupakan bagian dari tuntutan sejarah dan budaya dunia,
termasuk Indonesia. Karena itu, memperjuangkan HAM sama dengan memperjuangkan
budaya bangsa atau “membudayakan” bangsa, antara manusia dan kemanusiaan
seluruh dunia sama dan satu. Perbedaan budaya yang beragam di seluruh dunia
hendaknya dipandang sebagai “keragaman bunga indah” di taman firdaus. Kredo “Bhineka
Tunggal Ika” merupakan kristalisasi dan pengakuan akan hal ini. Dengan adanya
perbedaan dan budaya, bila ada budaya yang bertentangan dengan spirit HAM, maka
diperlukan adanya dialog, pendekatan tersebut, segera dapat ditemukan jalan
keluar yang baik dan memuaskan.
II. PEMBAHASAN
Dilihat dari aspek tersebut, serta
dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan, dan pola hidup
bangsa Indonesia pada umumnya, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa
Indonesia telah memiliki dan mengenal ide, bahkan nilai yang berkaitan dengan
hak asasi manusia. Bukti empiris lain adalah adanya ungkapan – ungkapan yang
sudah dikenal sejak nenek moyang. Sebagaimana penulis paparkan di depan bahwa
HAM bukan “komoditas” (ide) impor dari luar, tetapi HAM milik bangsa Indonesia.
HAM sudah menjadi hukum positif yang terkandung dalam Pancasila sila kedua. HAM
dikenal dalam kultur budaya di beberapa daerah di tanah air, anatra lain :
1. Aceh
2.
Batak
3.
Minang
4.
Sunda
5.
Jawa
6.
Madura
7.
Timor dawan
8.
Bugis Makassar
9.
Gorontalo
10.
Rote-Tie
Dengan demikan, adanya asas demokrasi
dan hak asasi manusia terbukti sudah dikenal dalam masyarakat adat Indonesia,
malah telah masuk di dalam sistem hukum adat yang ada. Di dalam proses
perkembangan masyarakat Indonesia, asas hukum adat tersebut bertemu dengan
sistem hukum bangsa asing secara terus-menerus, sehingga terjadi interaksi dan
saling mengisi yang mengakibatkan adanya perpaduan, perubahan, dan pergeseran.
Dalam dunia yang semakin modern, asas-asas hukum adat akan terus dipertahankan
selama tidak menghambat tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
Sebgaimana diketahui, dalam rangka
pembinaan hukum nasional, asas hukum adat cukup berperan. Hukum adat sendiri,
antara lain :
1.
Hukum yang tidak dibuat secara sengaja;
2.
Hukum yang memperlihatkan aspek
kerohanian yang kuat; dan
3.
Hukum yang berhubungan erat dengan
dasar-dasar dan susunan masyarakat setempat mempunyai sifat-sifat elastic di
dalam menghadapi kemajuan. (Satjipto Rahardjo, 1975;1)
Begitu pentingnya budaya (di dalamnya
termasuk adat) menjalin rasa kemanusiaan seluruh umat manusia, sekaligus peradaban
sudah terbukti. Sebagaimana diketahui, PBB sejak tahun 1966 telah mengesahkan
Perjanjian Internasional tentang hak-hak ekonomi sosial, dan cultural/ International Covenant on Economic, Social,
and Cultural Rights (ICESCR)/Kovenan EKOSOB. Sebagian ahli hukum hak asasi
manusia internasional, terutama Lois B. Sohn dan Browlie, perjanjian yang
demikian itu telah memiliki kedudukan sebagai bagian dari hukum kebiasaan
internasional (international customary
law). Formulasi dalam ICESCR, “....undertakes
to take step,... to the maximum of its available resources, with a view to
achieving progressively the full realization of the rights recognized in the
present covenant...,” kurang lebih diterjemahkan “berupaya mengambil langkah...memaksimalkan sumber-sumber yang ada
dengan maksud mempercepat pencapaian realisasi secara penuh hak-hak yang
tertuang di dalam kovenan”. Rumusan tsb member indikasi bahwa hak ekonomi,
sosial, dan budaya merupakan hak-hak positif (positive right).
Adanya hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya menuntut tanggung jawab negara (istilah Komisi Hukum Internasional: obligation of result), sedangkan hak-hak
sipil dan politik menurut tanggung jawab negara dalam bentuk obligation of conduct. Kovenan tentang
hak sipil dan politik, tertuang di dalam Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR)/Kovenan SIPOL dirumuskan “...undertakes to respect and to ensure to
all individual within is territory and subject to its jurisdiction the rights
recognized in the present covenant...”, terjemahannya: “berupaya menghormati dan meyakinkan semua penduduk di dalam wilayahnya
dan tunduk kepada yurisdiksi negara atas hak yang diakui di dalam kovenan ini”.
Untuk memenuhi hak Ekosoc warga masyarakat harus melakukan langkah-langkah
konkret untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini mestinya dihayati oleh para
pemimpin birokrat, aparat, maupun politisi. Kasus gizi buruk, beragam penyakit,
kerusakan lingkungan, dst hakekatnya merupakan kesalahan dalam mengambil kebijakan
di bidang hak Ekosoc. Hal ini kalau dikaitkan dengan UU No. 39 Tahun 1999 Pasal
71, “Negara wajib menghormati, melindungi, menegakkan, memasukkan HAM dalam
undang-undang ini...” dan Pasal 72 “...implementasi yang efektif dalam bidang
hukum, politik, ekonomi, sosial ....”, pasal tsb mengatur kewajiban/tanggung
jawab negara.
HAM dimiliki manusia karena ia adalah
manusia, bukan karena belas kasih yang selalu mengharapkan pertanggungjawaban
pihak lain untuk menegakkannya. Setiap hak mengandaikan adanya kewajiban (correlative obligation) dan pihak yang
berkewajiban. Tanpanya, tidak ada pihak yang bisa dituntut untuk memenuhi hak.
Dalam hal ini, pihak yang harus dibebani kewajiban adalah negara. Fakta hukum
membuktikan bahwa semua hak asasi manusia dipenuhi oleh pemerintah, terutama
hak ekonomi, sosial, dan cultural. Karenanya, kemauan politik berupa keputusan
dan kebijaksanaan pemerintah harus diambil sebanding dengan kebijaksanaan atas
hak politik dan sosial.
Pengalaman bangsa Indonesia selama
penjajahan da usaha membebaskan diri lewat revolusi, baik dengan cara-cara
konvensional/apa adanya maupun cara-cara yang lebih sistematis/modern merupakan
pengalaman yang tak terlupakan sepanjang sejarah perjuangan bangsa. Perlawanan
tersebut dilihat dari sudut dan pendekatan HAM adalah pemberontakan atas sikap
penjajah yang menginjak-injak hak asasi manusia dalam semua lini kehidupan,
baik sebgai bangsa maupun sebagai pribadi. Dengan demikian, penegakan hak asasi
manusia bukan sekadar kewajiban moral, tetapi merupakan kewajiban hukum. Moral
dalam arti luas mengandung makna character,
conduct, intention, dan social relation
sehingga dalam moral bermakna human conduct. Tingkah laku bermoral tidak hanya
berkaitan dengan kelakuan baik, tetapi berkaitan tingkah laku yang mengandung
makna dan isi adanya kepedulian sosial dalam bermasyarakat. Bentuk tingkah laku
tsb dapat dimasukkan ke dalam kelompok etika. “Ethics is also called moral philosophy...ethic is the study of human
custom...hence ethics is the study of rights and wrong of good and evil in
human conduct.” (Austin Fagothey,1972;2)
Sekian dari tulisan saya yang sekiranya
dapat membantu para pembaca. Saya ucapkan terima kasih.
Nama : Lungguh Khasanah
NIM : 15101006
FAK/Prodi : Management
Tidak ada komentar:
Posting Komentar