Rabu, 13 Januari 2016

Penegakan Hak Asasi Manusia Bagian dari Cita – cita Perjuangan Bangsa

I. PENDAHULUAN

Perjuangan menegakkan hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan bagian dari tuntutan sejarah dan budaya dunia, termasuk Indonesia. Karena itu, memperjuangkan HAM sama dengan memperjuangkan budaya bangsa atau “membudayakan” bangsa, antara manusia dan kemanusiaan seluruh dunia sama dan satu. Perbedaan budaya yang beragam di seluruh dunia hendaknya dipandang sebagai “keragaman bunga indah” di taman firdaus. Kredo “Bhineka Tunggal Ika” merupakan kristalisasi dan pengakuan akan hal ini. Dengan adanya perbedaan dan budaya, bila ada budaya yang bertentangan dengan spirit HAM, maka diperlukan adanya dialog, pendekatan tersebut, segera dapat ditemukan jalan keluar yang baik dan memuaskan.

II. PEMBAHASAN

Dilihat dari aspek tersebut, serta dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan, dan pola hidup bangsa Indonesia pada umumnya, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide, bahkan nilai yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Bukti empiris lain adalah adanya ungkapan – ungkapan yang sudah dikenal sejak nenek moyang. Sebagaimana penulis paparkan di depan bahwa HAM bukan “komoditas” (ide) impor dari luar, tetapi HAM milik bangsa Indonesia. HAM sudah menjadi hukum positif yang terkandung dalam Pancasila sila kedua. HAM dikenal dalam kultur budaya di beberapa daerah di tanah air, anatra lain :
1.      Aceh
2.      Batak
3.      Minang
4.      Sunda
5.      Jawa
6.      Madura
7.      Timor dawan
8.      Bugis Makassar
9.      Gorontalo
10.  Rote-Tie

Dengan demikan, adanya asas demokrasi dan hak asasi manusia terbukti sudah dikenal dalam masyarakat adat Indonesia, malah telah masuk di dalam sistem hukum adat yang ada. Di dalam proses perkembangan masyarakat Indonesia, asas hukum adat tersebut bertemu dengan sistem hukum bangsa asing secara terus-menerus, sehingga terjadi interaksi dan saling mengisi yang mengakibatkan adanya perpaduan, perubahan, dan pergeseran. Dalam dunia yang semakin modern, asas-asas hukum adat akan terus dipertahankan selama tidak menghambat tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.

Sebgaimana diketahui, dalam rangka pembinaan hukum nasional, asas hukum adat cukup berperan. Hukum adat sendiri, antara lain :
1.      Hukum yang tidak dibuat secara sengaja;
2.      Hukum yang memperlihatkan aspek kerohanian yang kuat; dan
3.      Hukum yang berhubungan erat dengan dasar-dasar dan susunan masyarakat setempat mempunyai sifat-sifat elastic di dalam menghadapi kemajuan. (Satjipto Rahardjo, 1975;1)
Begitu pentingnya budaya (di dalamnya termasuk adat) menjalin rasa kemanusiaan seluruh umat manusia, sekaligus peradaban sudah terbukti. Sebagaimana diketahui, PBB sejak tahun 1966 telah mengesahkan Perjanjian Internasional tentang hak-hak ekonomi sosial, dan cultural/ International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR)/Kovenan EKOSOB. Sebagian ahli hukum hak asasi manusia internasional, terutama Lois B. Sohn dan Browlie, perjanjian yang demikian itu telah memiliki kedudukan sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law). Formulasi dalam ICESCR, “....undertakes to take step,... to the maximum of its available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the present covenant...,” kurang lebih diterjemahkan “berupaya mengambil langkah...memaksimalkan sumber-sumber yang ada dengan maksud mempercepat pencapaian realisasi secara penuh hak-hak yang tertuang di dalam kovenan”. Rumusan tsb member indikasi bahwa hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan hak-hak positif (positive right).

Adanya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menuntut tanggung jawab negara (istilah Komisi Hukum Internasional: obligation of result), sedangkan hak-hak sipil dan politik menurut tanggung jawab negara dalam bentuk obligation of conduct. Kovenan tentang hak sipil dan politik, tertuang di dalam Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)/Kovenan SIPOL dirumuskan “...undertakes to respect and to ensure to all individual within is territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present covenant...”, terjemahannya: “berupaya menghormati dan meyakinkan semua penduduk di dalam wilayahnya dan tunduk kepada yurisdiksi negara atas hak yang diakui di dalam kovenan ini”. Untuk memenuhi hak Ekosoc warga masyarakat harus melakukan langkah-langkah konkret untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini mestinya dihayati oleh para pemimpin birokrat, aparat, maupun politisi. Kasus gizi buruk, beragam penyakit, kerusakan lingkungan, dst hakekatnya merupakan kesalahan dalam mengambil kebijakan di bidang hak Ekosoc. Hal ini kalau dikaitkan dengan UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 71, “Negara wajib menghormati, melindungi, menegakkan, memasukkan HAM dalam undang-undang ini...” dan Pasal 72 “...implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial ....”, pasal tsb mengatur kewajiban/tanggung jawab negara.

HAM dimiliki manusia karena ia adalah manusia, bukan karena belas kasih yang selalu mengharapkan pertanggungjawaban pihak lain untuk menegakkannya. Setiap hak mengandaikan adanya kewajiban (correlative obligation) dan pihak yang berkewajiban. Tanpanya, tidak ada pihak yang bisa dituntut untuk memenuhi hak. Dalam hal ini, pihak yang harus dibebani kewajiban adalah negara. Fakta hukum membuktikan bahwa semua hak asasi manusia dipenuhi oleh pemerintah, terutama hak ekonomi, sosial, dan cultural. Karenanya, kemauan politik berupa keputusan dan kebijaksanaan pemerintah harus diambil sebanding dengan kebijaksanaan atas hak politik dan sosial.

Pengalaman bangsa Indonesia selama penjajahan da usaha membebaskan diri lewat revolusi, baik dengan cara-cara konvensional/apa adanya maupun cara-cara yang lebih sistematis/modern merupakan pengalaman yang tak terlupakan sepanjang sejarah perjuangan bangsa. Perlawanan tersebut dilihat dari sudut dan pendekatan HAM adalah pemberontakan atas sikap penjajah yang menginjak-injak hak asasi manusia dalam semua lini kehidupan, baik sebgai bangsa maupun sebagai pribadi. Dengan demikian, penegakan hak asasi manusia bukan sekadar kewajiban moral, tetapi merupakan kewajiban hukum. Moral dalam arti luas mengandung makna character, conduct, intention, dan social relation sehingga dalam moral bermakna human conduct. Tingkah laku bermoral tidak hanya berkaitan dengan kelakuan baik, tetapi berkaitan tingkah laku yang mengandung makna dan isi adanya kepedulian sosial dalam bermasyarakat. Bentuk tingkah laku tsb dapat dimasukkan ke dalam kelompok etika. “Ethics is also called moral philosophy...ethic is the study of human custom...hence ethics is the study of rights and wrong of good and evil in human conduct.” (Austin Fagothey,1972;2)


Sekian dari tulisan saya yang sekiranya dapat membantu para pembaca. Saya ucapkan terima kasih.


Nama                           :  Lungguh Khasanah
NIM                            :  15101006
FAK/Prodi                  :  Management



Tidak ada komentar:

Posting Komentar