Kamis, 07 Januari 2016

THE SUPREMACY OF LAW IN INDONESIA

Nita Indra S. / 15101035 / S1 Manajemen

THE SUPREMACY OF LAW IN INDONESIA

PENDAHULUAN
Supremasi hukum  sebagaimana agenda reformasi sejauh ini belum tercipta. Indonesia masih memiliki banyak persoalan serius terkait penegakan hukum, baik dari prinsip  pemerintahan yang berdasarkan hukum, peraturan perundang-undangan yang jelas dan partisipatif, akses terhadap keadilan serta perlindungan HAM.

PEMBAHASAN
Negara bisa dikatakan sebagai Negara hukum apabila terdiri dari 3 unsur, yaitu, negarater sebut memiliki hokum yang mengikat namun juga menyediakan kebebasan kepada masyarakatnya. Kedua, Negara tersebut harus memiliki lembaga yang mengurusi masalah negara. Ketiga, harus memiliki lembaga yang mengurusi masalah hukum yang dialami masyarakatnya.

Hornby.A.S (1974:869), mengemukakan bahwa secara etimologis,kata “supremasi” yang berasal dari kata supremacy yang diambil dari akar kata sifat supreme, yang berarti “Higest in degree or higest rank” artinya berada pada tingkatan tertinggi atau peringkat tertinggi. Sedangkan supremacy berarti “Higest of authority” artinya kekuasaan tertinggi.

Adanya supremasi hukum diharapkan dapat membawa kehidupan dalam suatu Negara menjadi lebih baik. Adapun tujuannya meliputi, terciptanya rasa tanggung jawab di tengah-tengah masyarakat atas perbuatannya; menjamin masyarakat akan adanya keadilan yang sama tanpa adanya perbedaan; bisa menciptakan masyrakat yang bermoral.

Dalam Negara hukum menurut Jhon Lockce, warga masyarakat/rakyat tidak lagi diperintah oleh seorang raja atau apapun namanya, akan tetapi diperintah berdasarkan hukum.Ide ini merupakan suatu isyarat bahwa bagi Negara hukum mutlak adanya penghormatan terhadap supremasi hukum.

Bagaimana dengan negeri ini? Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara hukum Pancasila (rechsstaat/rule of law). Hal ini dengan tegas dirumuskan pada Pasal 1 ayat (3)UUD NRI Tahun 1945, bahwa : Negara Indonesia adalah Negara hukum. 
Hukum sebagai aturan, norma, dan kaidah akan selalu mempunyai posisi khas, ia langsung berada dan bekerja di tengah-tengah masyarakat. Keberagaman cita rasa masyarakat yang terkemas dalam budaya tradisional dan modern akan menyatu dalam suatu dimensi hukum.
Hal ini juga termuat dalam UUD ’45 pasal 27 ayat 1, yang berbunyisegala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajid menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Untuk dapat mencapai keadilan hukum, maka penegakan hukum sangat perlu. 
Hukum dan perundang-undangan harus benar-benar adil, benar-benar ditegakkan dan dipatuhi secara utuh tentunya. Hukum harus mampu mencerna segala perubahan secara tenang dan baik-baik. Globalisasi, dunia tanpa pembatas, skenario elit politik, suksesi, korupsi, kolusi, nepotisme, supremasi hukum, demokratisasi, HAM, perpecahan (disintergrasi) bangsa dan intrik-intrik politik, semuanya harus dihadapi oleh hukum. Hukum harus mampu secara langsung berhadapan dengan perilaku yang muncul tersebut.

Supremasi hukum dan penegakan hukum sudah menjadi masalah sentral dalam kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat.Masalah itu muncul oleh karena adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sen, dimana Negara mengklaim sebagai Negara hukum demokrasi (rechtsstaat democratie), sementara hukumnya compang camping dan penegakannya serampangan. Artinya supremasi hukum tidak dihormati dan penegakan hukum berjalan setengah hati dengan ibarat berada di persimpangan jalan panjang.

Banyak contoh kasus di negeri ini yang menarik dijadikan sampel berkenaan dengan supremasi hukum dan penegakan hukum, antara lain bagaimana ketiadaan penghormatan supremasi hukum terhadap skandal Senturi. Bagaimana skandal mafia pajak yang salah satu aktornya “Gayus” dengan menampilkan pentas sandiwara hukum, yang oleh publik ditontonnya sebagai proses penegakan hukum yang setengah hati. Belum lagi menguaknya kasus Antasari Azhar (mantan Ketua KPK) yang diduga keras penuh rekayasa. 

Supremasi hukum dan penegakan hukum dua hal yang tidak terpisahkan, keduanya harus bersinergi untuk mewujudkan cita hukum, fungsi hukum dan tujuan hukum, yang sebesar-besarnya buat kemanfaatan, kebahagiaan dan kesejahtraan umat manusia yang bersendikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Penegakan supremasi hukum dalam suatu Negara dapat berjalan dengan beberapa prinsip antara lain: :
Prinsip Negara hokum dan Prinsip Kostitusi.
Hikmahanto J (Dies Natalis ke 56 UI,2006), mengemukakan terdapat sekurang-kurangnya ada lima alasan mengapa hukum di Indonesia sulit ditegakkan atau dengan kata lain penegakan hukum di Indonesia sukar dilaksanakan, yaitu sebagai berikut : 

1. Aparat penegak hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap; 
2. Mafia peradilan marak dituduhkan; 
3. Hukum seolah dapat dimainkan, dipelintirkan, bahkan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi; 
4. Penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat; 
5. Masyarakat apatis, mencemooh dan melakukan proses peradilan jalanan.

PENUTUP
Dari skala 1-10, menurut penelitian ILR berdasarkan survei yang dilakukan terhadap ahli-ahli hokum serta pengumpulan dokumen di 33 provinsi,  Indonesia hanya mencapai angka 5,16 sebagai Negara hukum. Negara hokum hanya diasumsikan sebatas banyaknya regulasi yang diterapkan. Padahal secara substansi terwujudnya Negara hokum apabila hak-hak warganegara dilindungi dari praktik kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kesewenangan.

DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar