Najip Aryo Wibowo// 15101008// Manajemen
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Supremasi Hukum
Negara
berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme)
sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh
mengabaikan 3 ide dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Untuk
lebih memahami tentang supremasi hukum, ada baiknya perlu diketahui pengertian
hukum. Di bawah ini ada beberapa pengertian hukum yang dikemukakan oleh para
ahli:
1.
Utrecht memberikan
batasan hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang
mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati.
2.
Prof.
Mr. E. M. Meyers menyatakan hukum sebagai semua peraturan yang mengandung
pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat
dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
Dengan
mengetahui beberapa pengertian hukum di atas, maka akan lebih mudah dalam
memahami supremasi hukum (khususnya di Indonesia). Pengertian supremasi hukum
sendiri adalah upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap
orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Hal ini
juga termuat dalam UUD ’45 pasal 27 ayat 1, yang berbunyi ”segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajid menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.(UUD 1945)
Upaya
penegakan hukum ada kaitannya dengan tercapainya supremasi hukum. Penegakan
hukum yang dapat dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolak
ukur untuk keberhasilan suatu negara dalam upaya mengangkat harkat dan martabat
bangsanya di bidang hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap
warganya. Sebaliknya
pengakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan indikator
bahwa negara yang bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan
hukum kepada warganya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu faktor-faktor
yang terdapat di dalam sistem hukum dan faktor-faktor di luar sistem
hukum. (Joko Budi, 2007: 32)
B. Supremasi
Hukum di Era ORBA dan Reformasi
Supremasi hukum merupakan
suatu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan.Keadilan
yang dimaksud adalah keadilan yang netral, artinya setiap orang memiliki
kedudukan dan perlakuan yang sama tanpa terkecuali. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku pada era Orde Baru atau pada suatu era dimana rezim Soeharto berkuasa.
Pada masa ini seseorang bisa kebal dari hukum apabila mempunyai kekuasaan dan
uang. Tuduhan ini bukan tanpa bukti, banyak kasus-kasus pelanggaran hukum
serius yang lambat penanganannya karena tersangka utamanya merupakan para
penguasa rezim ORBA. Kasus-kasus itu, antara lain;
1. Kasus
kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965-1966.
2. Kasus
penyerangan kantor DPP PDI 27 Juli 1996.
3. Kasus
penjarahan toko-toko milik warga Tionghoa.
4. Kasus
korupsi Jamsostek.
Hal yang sama juga terjadi
pada era Reformasi, masa yang seharusnya segalam sesuatu yang buruk telah
diperbaiki. Namun, pada kenyataannya untuk keadilan di bidang hukum belum juga
tercipta. Salah satunya adalah Amandemen Kedua UUD’45 Pasal 28I ayat (1) :
“Bahwasanya seseorang tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut.” Dari sedikit petikan bunyi pasal tersebut, dalam ilmu hukum dinamakan
prinsip hukum non-retroaktif. Prinsip tersebut bersumber dari asas legalitas
von Feuerbach :”tidak ada tindak pidana, tanpa adanya peraturan yang mengancam
pidana lebih dulu.” Seperti yang tercantum dalam pasal 1 KUHP kita. Masalah
yang muncul apakah prinsip tersebut juga berlaku untuk kejahatan berat? Sebab
dalam pasal tersebut tidak membedakan tindak pidana biasa dengan tindak
kejahatan kemanusiaan seperti tindak pelanggaran HAM berat. Merujuk pada
penjelasan RUU Pengadilan HAM bahwa pelanggaran HAM berat bukan merupakan
pelanggaran terhadap KUHP. Sehingga prinsip non-retroaktif perundang-undangan
tidak berlaku pada kejahatan kemanusiaan. Meskipun dalam RUU Pengadilan HAM
pasal 37 memberlakukan retroaktif perundangan-undangan terhadap kejahatan
kemanusiaan, tetap saja RUU tersebut akan gugur karena bertentangan dengan
Pasal 28I ayat (1). Karena sistem hierarki di Indonesia tidak membolehkan hukum
yang lebih rendah tingkatannya bertentangan dengan yang lebih
tinggi.
Akan tetapi, pada era ini
juga sudah banyak pejabat yang disidangkan karena kasus korupsi, walaupun
mereka benar-benar bersalah hanya beberapa saja yang masuk penjara. Ternyata
hal ini terjadi penyebabnya tidak lain adalah mau disuapnya aparat penegak
hukum, khususnya kejaksaan.
Dari fakta-fakta yang
terungkap di atas menunjukan bahwa supremasi hukum pada era Orba sampai era
Reformasi belum terwujud. Hal ini terjadi karena sumber hukum dan aparat
penegak hukum belum siap mewujudkan keadilan di bidang hukum.
C. Hubungan Antara
Supremasi Hukum, Demokrasi dan HAM
Supremasi hukum telah mati seiring dengan berjalannya
sistem demokrasi di Indonesia. Hal yang paling mendasari adalah besarnya
pergesekan kekuatan kepentingan kekuasaan dari beberapa titik pemegang
kekuasaan negara. Dalam pelaksanaan demokrasi sangat diperlukan adanya
supremasi hukum yaitu menjunjung tinggi peraturan–peraturan yang berlaku untuk
mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat demi terciptanya
kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Selain dari pada itu juga diperlukan
sistem pemerintahan yang demokrasi yaitu sistem pemerintahan yang mengutamakan
kepentingan rakyat yaitu adanya asas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Terakhir adalah HAM (Hak Asasi Manusia), hal ini sangat penting
terhadap pelaksanaan supremasi hukum karena berkaitan dengan hak dasar manusia
sebagai mahluk Tuhan. Demikianlah hal–hal yang patut diperhatikan dalam pelaksanaan
supremasi hukum di Indonesia karena sangat sesuai dan patut pula diperhatikan
dalam skala nasional yang bertitik tolak dari UUD 1945 baik Pembukaan,
pasal-pasal beserta penjelasannya.
Hubungan antara negara hukum dan demokrasi dapat
dinyatakan bahwa negara demokrasi pada dasarnya adalah negara hukum. Namun,
negara hukum belum tentu negara demokrasi. Negara hukum hanyalah satu ciri dari
negara demokrasi. Demokrasi baik sebagai bentuk pemerintahan maupun suatu
sistem politik berjalan di atas dan tunduk pada koridor hukum yang disepakati
bersama sebagai aturan main demokrasi. Adapun demokrasi sebagai sikap hidup
ditunjukkan dengan adanya perilaku yang taat pada aturan main yang telah
disepakati bersama pula. Aturan main itu umumnya dituangkan dalam bentuk norma
hukum. Dengan demikian di negara demokrasi, hukum menjadi sangat dibutuhkan
sebagi aturan dan prosedur demokrasi. Tanpa aturan hukum, kebebasan dan
kompetisi sebagai ciri demokrasi akan liar tidak terkendali. Jadi, negara
demokrasi sangat membutuhkan hukum. (Winarno, 2007: 128)
Hubungan antara demokrasi dan hukum sangat erat, dapat
dikatakan bahwa kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas
hukumnya. Artinya negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula
hukum-hukum yang berwatak demokratis, sedangkan di negara-negara yang otoriter
aatau non demokratis akan lahir hukum-hukum yang non
demokratis. (Moh.Mahfud, 1999: 53)
Dewasa ini kehidupan ekonomi jauh lebih baik daripada
periode-periode sebelumnya berkat pemerintahan yang kuat dan otoritarian sesuai
dengan pilihan yang telah dilakukan secara sadar sebagai pecinta hukum.Lahirnya hukum-hukum yang
berkarakter responsif tanpa mengorbankan persatuan dan kesatuan serta kebutuhan
ekonomi dapat lahir di dalam konfigurasi politik yang demokratis untuk
melahirkan hukum-hukum yang renponsif itu, diperlihatkan demokratisasi di dalam
kehidupan politik. Alasan-alasan untuk melakukan demokratisasi ini sudah cukup
jika kesadaran politik masyarakat membaik, Pancasila diterima sebagai
satu-satunya asas oleh orpol dan ormas, dan kehidupan ekonomi masyarakat dan
pertumbuhannya sudah memadai. Dengan modal itu, proses demokratisasi tidak akan
mengancam stabilitas apalagi persatuan kesatuan bangsa. (Moh.Mahfud, 1999:84)
Peranan
supremasi hukum, demokrasi, dan HAM terhadap pelaksanaan pemerintahan sangat
penting karena supremasi hukum harus ada, sebab negara
Indonesia adalah negara hukum atau negara yang sangat menjunjung tinggi hukum
ini dapat terlihat juga dari sistem demokrasi yang dianut negara kita yaitu
Republik Konstitusi, maka pemerintahan juga harus menjunjung tinggi hukum dalam
menggunakan wewenangnya. Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan
aspirasi rakyat dalam membuat keputusan bagi rakyatnya karena bagaimanapun juga
negara kita adalah negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat, jadi
keinginan rakyat tidak bisa dikesampingkan begitu saja oleh pemerintah.
Oleh karena itu, badan eksekutif dan badan legislatif dalam melaksanakan
tugasnya tidak bisa bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat yang bisa
melanggar atau membatasi HAM dari pada itu rakyat itu sendiri.
D. Menciptakan Supremasi
Hukum yang Ideal
Pada
pembahasan sebelumnya perkembangan penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari
harapan. Sejak Indonesia merdeka hingga pemerintahan sekarang masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan maupun penyelewengan hukum dalam mewujudkan
negara hukum di Indonesia. Ini berarti bahwa supremasi hukum belum tercipta di
Negara Indonesia. Penegakan hukum sangat perlu yaitu untuk diarahkan pada pola
pencegahan segala pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh individu dalam
masyarakat ataupun badan hukum. Bukti-bukti nyata yang terjadi dalam
pemerintakan Indonesia, justru pelanggaran hukum banyak dilakukan oleh kalangan
atas, seperti kehakiman, kepolisian dan pejabat-pejabat. Kasus-kasus seperti
korupsi, penyuapan dan bermacam pelanggaran hukum masih sering terjadi.
Artinya, Indonesia adalah negara hukum yang belum sukses mewujudkan supremasi
hukum.
Intregitas
kepemimpinan kepolisian, kejaksaan dan mahkamah agung turut pula dipertanyakan,
karena sebagai lembaga penegak hukum juga ternyata dominan dengan nuansa
politik. Ada kemungkinan niatan yang dilandasi politik akan berujung pada
bupaya penegakan hukum, atas produk hukum yang kemudian tak sekedar kertas
bertinta emas tapi pengejawantahan kehidupan ketertiban hukum agar terpelihara
integritas sosial yang melingkupi masyarakat, pasar dan negara. Bila ini tak terjawab dengan memuaskan, maka akan
menimbulkan rasa miris bagi siapapun yang mengetahui kondisi ini. Tetapi semuanya hanya
tinggal mimpi untuk menerapkan supremasi hukum di tengah hembusan demokrasi
yang didengungkan negara ini, ataukah masih menyisakan harapan bagi terwujudnya
negara hukum. (http://persma.com/baca/2009/10/26/matinyasupremasi-hukum-di-tangan-demokrasi.html)
Keberadaan hukum merupakan
posisi yang unik dan dapat memberikan dampak bagi lingkungan sekitar, terutama
bagi dinamisasi kehidupan masyarakat, antara hukum dengan masyarakat, penjahat
dengan pejabat, orang baik-baik, atasan dan bawahan, seharusnya tidak ada tirai
pembatas. Oleh karena itu, sifat hukum harus dogmatis dan universal.
Beberapa poin penting untuk
bisa mencapai supremasi hukum, bergantung pada bagaimana pelaksanaan hukum itu
sendiri. Ada beberapa pendapat tentang tujuan hukum yang dapat dijadikan
sebagai acuan untuk mencapai supremasi hukum yang ideal.
1.
Teori
etis, mengatakan bahwa hukum itu semata-mata menghendaki keadilan. Isi hukum
semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil
dan apa yang tidak adil.
2.
Geny,
mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Sebagai
unsur keadilan, ada kepentingan daya guna dan kemanfaatan.(Budiyanto, 2004: 54)
Beberapa
pendapat di atas menyatakan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan keadilan,
maka dengan terciptanya keadilan ini maka supremasi hukum dapat terwujud. Namun, dengan banyaknya penyelewengan hukum di Indonesia
dapat dikatakan bahwa penerapan keadilan belum terwujud.
Untuk
dapat mencapai keadilan hukum, maka penegakan hukum sangat perlu. Hukum dan
perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh
terutama aturan hukum tentang
HAM. (Sunarso,
2008 : 150)
Dengan adanya praktik politik, maka hal ini juga
berpengaruh pada keadaan hukum di Indonesia. Pada konfigurasi politik tertentu
melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu, yakni konfigurasi politik
yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif,
sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang
berkarakter konservatif. Karakter responsif maupun konservatif salah satunya
ditandai dalam pembuatan produk hukum yang responsif menyerap
aspirasi masyarakat seluas-luasnya (parsitipatif), sedangkan produk hukum yang
konservatif lebih didominasi lembaga-lembaga negara terutama pihak eksekutif
(sentralistis). (Moh.Mahfud, 1999: 295)
Hukum harus mampu mencerna segala perubahan secara tenang
dan baik-baik. Globalisasi, dunia tanpa pembatas, skenario elit politik,
suksesi, korupsi, kolusi, nepotisme, supremasi hukum, demokratisasi, HAM,
disintergrasi bangsa dan intrik-intrik politik, semuanya harus dihadapi oleh
hukum. Hukum harus mampu secara langsung berhadapan dengan perilaku yang muncul
tersebut. Sehingga hukum berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat dengan
segala perundang-undangan yang berlaku dan harus ditaati masyarakat. Dalam
menghadapi perubahan perilaku masyarakat, maka hukum harus dengan cepat
beradaptasi dalam perubahan tersebut. Jika terjadi keterasingan masyarakat
terhadap hukum maka citra terhadap hukum akan menurun, sebagai konsekuensi,
maka sangat diperlukan hukum yang selalu mengikuti konsep, orientasi dan
masalah-masalah yang setiap saat bisa berubah secara cepat. Dengan kata lain,
supremasi hukum jangan dijadikan hanya sebagai simbol dalam suatu pemerintahan.
Hukum tidak hanya merupakan unsur tekstual saja, yang dipandang dari kaca mata
Undang-undang. Namun, hukum merupakan unsur kontekstual yang dapat dilihat dari
perspektif yang lebih luas. Dalam suasana perubahan yang serba cepat ini,
perwujudan supremasi hukum akan memenuhi lebih banyak para pelaksana hukum yang
mampu bertanggung jawab, berdedikasi dan bermoral serta mempunyai intelektual
tinggi yang mampu mengatasi berbagai permasalahan.(http://bataviase.co.id/content/mmbangun-supremasi-hukum)
Hal itulah yang menjadi poin agar supremasi hukum dapat
mencapai standar ideal, unsur-unsur penegak hukum yang seperti itulah yang
dibutuhkan untuk menghadapi segala permasalahan agar supremasi hukum dapat
terwujud dengan cepat.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah ini, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Supremasi
hukum adalah upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan
harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan
perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
2. Keadilan yang
netral artinya setiap orang memiliki kedudukan dan
perlakuan yang sama tanpa terkecuali. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada era Orde Baru.
Beberapa kasus-kasus pelanggaran hukum serius yang lambat penanganannya karena
tersangka utamanya merupakan para penguasa rezim ORBA. Kasus-kasus itu, antara
lain;
a. Kasus
kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965-1966.
b. Kasus
penyerangan kantor DPP PDI 27 Juli 1996.
c. Kasus
penjarahan toko-toko milik warga Tionghoa.
d. Kasus
korupsi Jamsostek.
Hal
yang sama juga terjadi pada era Reformasi, masa yang seharusnya segala sesuatu
yang buruk telah diperbaiki. Namun, pada kenyataannya untuk keadilan di
bidang hukum belum juga tercipta.
3. Hubungan supremasi hukum, demokrasi, dan HAM adalah
hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Supremasi hukum dapat tercipta jika
hukum dilaksanakan dengan berdasar pada keadilan. Negara yang demokratis akan
akan mewujudkan watak hukum yang demokratis. Tanpa aturan hukum, kebebasan dan
kompetisi sebagai ciri demokrasi akan liar tidak terkendali. Dengan adanya
demokrasi, maka Hak Asasi Manusia pun akan dijunjung sebagai wujud negara
demokrasi yang tertib hukum.
4. Untuk mencapai Supremasi yang ideal maka diperlukan
penegakan hukum yaitu diarahkan pada pola pencegahan segala
pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat ataupun
badan hukum. Guna
perwujudan supremasi hukum yang memenuhi lebih banyak para pelaksana hukum yang
mampu bertanggung jawab, berdedikasi dan bermoral serta mempunyai intelektual
tinggi yang mampu mengatasi berbagai permasalahan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan
saran, antara lain:
1. Menindak secara tegas bagi para pelanggar hukum di
semua kalangan, baik yang ada di masyarakat, maupun di kalangan pejabat.
2. Diharapkan seluruh komponen masyarakat di Indonesia
dapat memahami arti serta perlunya hukum serta menerapkan hukum yang berlaku
sehingga dapat ditegakkannya supremasi hukum yang bertujuan keadilan sosial.
3. Menghindari kasus-kasus penyelewengan hukum,
seperti korupsi dan penyuapan di manapun kita berada.
DAFTAR PUSTAKA
http://bataviase.co.id/content/mmbangun-supremasi-hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar